Rakyat
dan negeri ini sepatutnya bersyukur atas adanya peristiwa Resolusi Jihad dan
Pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya. Tanpa dua peristiwa ini bisa
jadi kata Indonesia tinggallah kata tanpa
makna eksistensi. Indonesia yang saat itu baru saja diproklamirkan harus
rela akan kembali dikangkangi oleh kaum kolonialis Belanda dan sekutu pimpinan
Inggris. Saat itu Indonesia baru berusia sekitar dua bulan sebagai Negara merdeka
ketika dua peristiwa maha penting itu terjadi.
Negara
tanpa tentara nasional harus menerima kenyataan pahit kembali mendapat
rongrongan, infiltrasi, gertakan dan pressure yang lebih tepatnya disebut
sebagai teror dari satu Negara kepada mantan Negara jajahannya. Namun Indonesia
bukanlah Negara kecil. Indonesia bukan saja memiliki rakyat dengan jumlah yang
besar, tapi juga memiliki nyali yang tidak bisa dianggap enteng. Selain memiliki
rakyat, Indonesia juga memiliki pemimpin-pemimpin revolusi sebagai umaro dan juga
para ulama yang doanya tembus ke langit. Indonesia memiliki Soekarno sebagai
pemimpin revolusi dan Hadratus Syeikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’arie dan para
kiai sebagai motor dan dinamisator penggerak perjuangan rakyat.
Sebagai
bukti napak tilas perjuangan ini adalah naskah Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Sehingga
tidak berlebihan jika pada tahun 2015, Presiden Ke-7 Indonesia Mister Joko
Widodo memberikan apresiasi atas peran santri dan kiai dalam mempertahankan
kemerdekaan. Apresiasi itu dituangkan dalam sebuah Surat Keputusan Presiden Nomor
22 Tahun 2015 tentang penetapan Hari Santri Nasional. Pada tahun 1945 terbukti para
santri dan kiai telah menancapkan tonggak sejarah dan mengukirnya dengan tinta
emas. Kalangan santri yang dicap sebagai kaum sarungan dan gudikan telah
membuktikan darma baktinya untuk negeri ini. Mereka memahami spirit dakwah
dengan baik. Bagaimana mungkin membangun masyarakat dan agama di atas tanah
negeri yang bersengketa. Mereka meyakini ajaran agama apapun bisa tumbuh subur
di atas bumi yang damai dan bersahaja.
Kehadiran Resolusi Jihad memperkuat peristiwa pertempuran 10 November, tanpa dua peristiwa ini bisa jadi Indonesia tinggallah kenangan. Peristiwa pertempuran 10 November sendiri bukanlah peristiwa tunggal. Peristiwa ini adalah titik puncak sekaligus pemicu timbulnya gerakan-gerakan perjuangan perlawanan rakyat Indonesia terhadap imperialis Belanda yang tamak dan rakus ingin kembali mengkoloni Nusantara. Setelah kematian Brigadir Jenderal Mallaby, Inggris mengultimatum arek-arek Suroboyo untuk menyerah. Ultimatum tersebut meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjtaan dan menghentikan perlawanan pada tentara sekutu dan NICA serta ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila Indonesia tidak menaati perintah Inggris.
Mendengar ancaman itu
arek-arek Suroboyo semakin beringas dan terbakar semangat mereka. Di bawah
komando Bung Tomo dan Gubernur Suryo, semangat perjuangan mereka memuncah dan
terjadilah tragedi pertempuran 10 November 1945 yang terkenal itu. Sekitar 20,000
pejuang dan penduduk Surabaya meninggal, 150.000 penduduk terpaksa mengungsi meninggalkan
kota Surabaya, dan hanya 1.600 tentara sekutu yang tewas, luka, dan hilang. Peperangan di manapun pasti membawa korban dan menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Percayalah banyak peperangan terjadi di dunia ini karena nasfu segenlintir orang yang kemudian menyeret dan merugikan banyak rakyat kecil. Mari kirimkan fatiihah untuk untuk para suhada bangsa korban pertempuran 10 November 1945.
Selamat Hari Pahlawan
10 November 2021
Pahlawanku
Inspirasiku!!
Salam Moderasi Beragama
Penulis: Bakri,
S.Pd.I., M.Pd.I
(Guru SMK Islam Yapim
Manado)
0 komentar:
Posting Komentar