Dunia maya yang menyatukan segala jenis manusia. Tak ada kelas sosial. Tak ada aturan. Aturannya hanya quota dan jaringan internet. 1 GB pun boleh! Karena quota sudah menjadi komoditas utama untuk masuk dunia rata, dunia maya. Tanpa paspor, tanpa cek point,tanpa sensor. Benar-benar borderless, tanpa pembatasan. Semua bisa terkoneksi bahkan saling membutuhkan konektifitas. Kadang konektifitas di “dunia maya” tersebut menghasilkan berbagai macam bentuk relasi, adiksi, dan aksi.
“Kerataan” dunia yang terlipat di sebuah android, personal computer (CP) atau tablet. “Kerataan” yang melahirkan dunia maya, dunia virtual yang tak kasat mata namun nyata. Di dunia maya, semua orang bisa melakukan semua hal. Tinggal sentuh! Jari, menjadi senjata utama. Dunia maya mampu merubah dunia nyata! Dunia nyata yang menjadi dunia maya! Dunia maya yang seolah menjadi nyata!Dan semua “anteng” dalam jutaan konten yang ada di “kerataan” dunia maya android. Seolah itu adalah realitas. Tempat melarikan diri dari kenyataan! Simulacra kata Jean Baudrillard orang Prancis yang lahir di Reims tahun 1929! Juga melahirkan post truth, kebohongan yang dianggap benar. Post truth, dikenalkan oleh Steve Tesich tahun 1992 dalam tulisannya “The Government of Lies” di majalah The Nation, melahirkan sunami hoaxs, sampah virtual dan nalar tumpul.
Namun rasanya teori “kerataan” dunia nya Thomas Friedman tak berlaku pada moment “mudik” lebaran. Sebuah “ritual sosial raksasa” dan massif yang selalu dilakukan masyarakat Indonesia. Fasilitas “perjumpaan maya” yang ditawarkan “kerataan” android tak dirasa cukup. Walau pada akhirnya, budaya “komunikasi maya” pada dunia yang terlipat android, tetap saja mendominasi “ritual raksasa” tahunan tersebut.
Mudik adalah tradisi dan ritual yang menjadi perekat “antik” silaturahmi. Pengingat akan purwadaksi -agar tak lupa tempat asal. Purwadaksi dari mana titik awal jati diri melangkah. Jati diri yang membutuhkan purwadaksi untuk refleksi. Mudik juga dilakukan para pemeluk agama lain. Mudik sudah menjadi sub kultur.
Sub kultur yang lahir dari pembersihan hati dan pikiran dari kepentingan-kepentingan syahwat. Diawali ritual puasa, atau liturgi misa tengah malam sebelum Natal, atau Nyepi, atau meditasi serta ritual pembersihan lainnya untuk membeningkan hati dan pikiran. Membeningkan dari syahwat kepentingan.
Mudik menjadi moment “menge-cash”. Mengisi kembali energi purwadaksi jati diri para perantau. Jati diri yang menyatu dalam lingkung keluarga. Yang telah terwarnai dalam berbagai petualangan aktivitas sosial ekonomi, politik, dan agama. Petualangan diri tersebut serasa tak berujung dan menemukan muaranya ketika mudik.
Mudik adalah moment penyatuan kembali purwadaksi dalam jati diri keluarga, masyarakat dan bangsa. Moment untuk menguatkan sebuah budaya kolosal bangsa yang mungkin, ada duanya di muka bumi yang tak rata. Penyatuan yang dilandasai nilai spiritual. Mudik adalah rihlah sosial religius masyarakat untuk kembali menyatu dalam satu keluarga. Untuk kembali pada satu titik tumpu dan titik pijak perjalanan, keluarga. Mudik adalah kanal muara dari naluri untuk kembali berkomunikasi dalam frekuensi yang sama, fitrah. Saling memaafkan, mengihklaskan.
Mudik adalah proses sosial religius yang menyatukan individu pada komunitas. Merekatkan dan menguatkan kesatuan bangsa dengan fondasi spiritual dan kebutuhan psikologis untuk kembali pada asal. Mudik menjadi bagian untuk menguatkan pertautan hati keluarga dan masyarakat. Pertautan hati adalah pintu pertama dan utama kesatuan dan persatuan bangsa. Rekatan komunitas yang bertaut dengan “kerataan” teknologi informasi.
Sebagai sub kultur, mudik adalah bagian penting dari penguatan sila ke 3 Pancasila, Persatuan Indonesia. Sub kultur yang harus terus dikembangkan dalam kerangka lebih luas dalam proyeksi kreatifitas sosial untuk menyatukan bangsa. Seperti halnya ritual mudik, kegiatan berbasis kultural, sosiologis serta humanis harus menjadi bagian keseharian masyarakat. Gotong royong, kerja bakti, filantropi dan seabrek kegiatan kreatif lainnya.
Saat ini, sub kultur mudik, terhalang covid-19. Walau masih ada yang memaksa menjalani ritual antik tersebut. Ritual sub kultural tersebut mulai tergeser kultur “kerataan” dunia maya. “Kerataan” dunia maya yang kadang meretakkan pertautan hati jika terlalu mengumbar post truth dan “jari tak bijak” akibat nalar tumpul . Post truth menjadi tantangan sila ke 3. Selamat Ied Mubarok dan tidak mudik. Mohon maaf lahir batin. Salam Kang Marbawi.
Notes:
Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 46
Opini diposting setelah mendapat izin dari penulis.
0 komentar:
Posting Komentar